Bismillah
Rasa-rasanya tak ada negara yang lebih menarik untuk dikupas melebihi
Saudi Arabia. Sederet frase mungkin langsung terbayang dalam benak kita
begitu mendengar nama Saudi. Negeri kelahiran Rasulullah Sallallahu
'alaihi Wassallam, dua kota suci, Wahabi, minyak, dan sebagainya.
Perspektif orang terhadap negara tersebut pun secara umum terbagi dalam
dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian rupa
atau membenci
sejadi-jadinya.
Bagi yang mengagumi Saudi, negeri yang kini dinakhodai oleh Raja
Abdullah tersebut selalu dilihat dalam kaca mata putih sebagai pelindung
utama dakwah tauhid, negeri yang sukses mendistribusikan kemakmuran
terhadap segenap rakyatnya, negeri yang sukses menegakkan keamanan di
segenap penjuru wilayahnya, serta negeri yang konsisten dengan hukum
Islam di tengah moderenitas. Sementara bagi para pembenci Saudi, negara
tersebut selalu dilihat dengan kaca mata hitam sebagai negeri yang lahir
dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan intoleran’, antek
Amerika, pengusung diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang hak-hak
wanita, serta kehidupan glamour sebagian elitnya.
Namun justru adanya dua perspektif yang saling bertolak belakang itulah
yang menyebabkan ‘pesona’ Saudi kian berbinar. Sejumlah karya
kontroversi yang bertemakan Saudi selalu menggelitik untuk ditelisik.
Sebut saja Dinasti Bush Dinasti Saud, The Girls of Riyadh hingga Kudeta
Makkah. Meski sederet buku tersebut cenderung mendiskreditkan Saudi,
namun di sisi lain adanya karya-karya semacam itu justru menunjukkan
pengakuan banyak pihak akan eksistensi Saudi. Bahkan sejak lahirnya
cikal bakal kerajaan Saudi Arabia lewat dakwah tauhid Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad Ibnu Su’ud, gemanya pun langsung
berasa di berbagai negeri Muslim. Di tanah air, pengaruh langsung dari
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di
tanah Minang.
Biografi memukau Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang dibesarkan di
pengasingan dalam kondisi penuh keterbatasan sebelum sukses mendirikan
kerajaan Arab Saudi moderen, tak pelak menghadirkan kekaguman pula bagi
Bung Karno. Dalam salah satu suratnya yang ditulis di Endeh dan
ditujukan kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno menyatakan kekagumannya
akan biografi Ibnu Saud dengan ungkapan, “Ia adalah menggambarkan
kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan element
amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum
pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama sekali.”
Eksistensi Saudi di mata internasional semakin diakui kala Raja Faisal
memimpin embargo minyak terhadap negara-negara Barat pendukung zionis
yang mengakibatkan dunia industri di Eropa dan Amerika kalang kabut.
Meski kini Saudi menerapkan politik kooperatif terhadap Amerika Serikat
dan sekutunya, bukan berarti peran Saudi dipandang sebelah mata. Satu
hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti Bush Dinasti Saud. Konon
dua hari pasca tragedy 11 September 2001, di saat seluruh lalu lintas
udara Amerika Serikat ditutup, Gedung Putih tetap mengizinkan kepergian
140 penumpang pesawat yang kebanyakan warga Saudi dan saudara dekat
Osamah bin Laden. Dalam analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya
lobi duta Saudi terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Mencermati hubungan Amerika Serikat-Saudi Arabia memang sangat menarik
bila dikaitkan dengan latar belakang kedua negara yang saling bertolak
belakang. Amerika Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu
mendewakan kebebasan dalam segala bidang, sementara Saudi merupakan
negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ‘puritanisme’ dalam
Islam. Amerika merupakan negara pendukung utama rezim zionis Yahudi,
sedangkan Saudi tidak pernah mengakui eksistensi pemerintahan Yahudi di
Palestina.
Politik luar negeri Saudi yang bagi banyak orang terlihat kontradiktif
dengan ideologi negara yang dianutnya, tak pelak memantik minat banyak
pengamat untuk melontarkan sejumlah teori. Secara umum, teori tersebut
menyebutkan bahwa kedekatan hubungan Saudi-AS semata-mata didasari atas
simbiosis mutualisme antara kedua negara. AS yang merupakan negara
konsumen minyak terbesar dunia membutuhkan limpahan suplai minyak dari
Saudi, sementara Saudi membutuhkan peralatan militer dari AS guna
menjaga kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu, identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan
sebagai negara yang kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain,
menyebabkannya dimusuhi oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama
lain pun saling mengusung ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok
dimaksud antara lain adalah kalangan liberal, Syi’ah, Al-Qaeda, dan
tradisionalis.
Di mata kaum liberal, Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di
segenap lini merupakan ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung
kampanye “hukum Islam tak lagi relevan saat ini.” Tegaknya Islam di
Saudi yang berefek pada pemerataan kemakmuran terhadap segenap rakyatnya
merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah tetap relevan sampai kapanpun.
Bagi kalangan Syi’ah, Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama dalam
menyebarkan aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru dunia. Bahkan
Saudi turut menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di Bahrain
dengan mengirimkan pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di
negeri tersebut. Maka untuk menggaet simpati kaum Muslimin secara umum,
orang-orang Syi’ah menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan
bahwa Republik “Syi’ah” Iran merupakan negara yang berada di garda
terdepan dalam menentang Amerika dan Israel. Namun faktanya, Iran yang
dituding mengembangkan senjata nuklir tidak pernah sekalipun terlibat
peperangan terbuka dengan Amerika maupun Israel.
Sedangkan di mata kelompok Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’,
Saudi dianggap sebagai negara kafir lantaran sikap kooperatifnya dengan
Amerika. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Osama bin Laden yang
menegaskan bahwa Saudi tidak layak disebut negara Islam karena dinilai
sebagai antek Amerika. Konsekuensi dari stigma kafir terhadap pemerintah
Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada meletusnya teror bom Riyadh
2004.
Dan dalam pandangan kaum tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran
Islam dengan budaya lokal, eksistensi Saudi dianggap sebagai musuh
karena merupakan pendukung utama dakwah pemurnian Islam. Setiap tahunnya
pemerintah Saudi memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar dari segala
penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri tersebut. Sepulang dari
Saudi, mereka yang lulus dari universitas Islam di negara itu menjadi
penyeru dakwah tauhid yang mementang segala praktek bid’ah dan
kemusyrikan. Saudi juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Islam di
berbagai negeri Muslim, seperti LIPIA di Indonesia dengan misi utama
menebarkan dakwah tauhid. Maka tak heran, kaum tradisionalis yang
praktek beragamanya masih lekat dengan kemusyrikan selalu menempatkan
Saudi sebagai negara yang dimusuhi.
Menariknya, keempat kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan
Saudi dan Amerika sebagai senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan
tersebut. Satu pemandangan aneh, kalangan liberal dan tradisionalis
merupakan kelompok yang paling alergi terhadap segala teori konspirasi
Yahudi yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam pergerakan’ (baik Hizbut
Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun bila konspirasi Yahudi itu
menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka berada di garda
terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati kebijakan luar negeri Saudi, sejatinya tidak melulu soal
poros Riyadh-Washington. Ada banyak kebijakan luar negeri Saudi yang
berdampak positif bagi solidaritas sesama Muslim. Di samping besarnya
peran Saudi dalam bidang pendidikan, lewat kebijakan pemberian beasiswa
besar-besaran kepada para pelajar Muslim untuk melanjutkan studi ke
negeri tersebut serta pendirian universitas-universitas Islam di
mancanegara maupun sumbangan dana kepada yayasan yang menaungi dakwah di
berbagai penjuru dunia, Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia
yang sudah sejak lama membuka pintu lebar-lebar kepada para pengungsi
Rohingya.
Bila kehidupan warga Muslim Rohingya di negara asalnya sangat
memprihatinkan akibat kebijakan represif penguasa Buddhist, serta yang
mengungsi ke negara lain pun nasibnya terkatung-katung, tidak demikian
dengan warga Muslim Rohingya di Saudi. Semenjak Raja Abdul Aziz menawari
perlindungan keamanan kepada pengungsi Rohingya di negaranya tahun
1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat Muslim Rohingya yang tinggal
di negeri kelahiran Nabi SAW itu. Bahkan pada Maret lalu, pemerintah
Saudi memberikan status kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim Rohingya.
Itu artinya kini mereka berhak atas fasilitas kesehatan, pendidikan,
dan hak mendapatkan pekerjaan yang setara dengan penduduk lokal. “Dunia
baru menyadari penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun lalu.
Tapi Arab Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan
mereka sejak lama,” kata Abdullah Marouf, sekretaris jenderal komunitas
Burma dan kepala Global Rohingya Center di Jeddah, dilansir Arab News.
Tak hanya terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi memberikan uluran
tangan. Tatkala terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah
dan rakyat Saudi juga menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana
semua sumbangan itu berbentuk hibah. Di kesempatan lain, pasca
terjadinya serangan udara secara ofensif pasukan zionis terhadap jalur
Gaza selama beberapa pekan di awal tahun 2009, pemerintah dan rakyat
Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1 miliar dollar untuk
rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya, besarnya sumbangan Saudi kepada dunia
Islam memang jarang terekspose media lantaran berita yang semacam itu
dianggap ‘kurang menjual’.
Dengan demikian, semenjak lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi
hingga hari ini, tak ada yang mengingkari bahwa Saudi merupakan negara
yang paling berpengaruh terhadap dunia Islam. Berkembangnya seruan
revivalisasi (pemurnian) Islam yang bergema di berbagai negeri Muslim,
termasuk Indonesia belakangan ini, tak lepas dari peran Saudi Arabia.
Meskipun bagi sebagian kalangan ‘Islam pergerakan’, eksistensi Saudi
kerap diabaikan lantaran hubungan diplomatiknya dengan Amerika, namun
sumbangan Saudi dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap dunia Islam
tetap tak terbantahkan. Terkait hal ini, satu catatan yang seharusnya
diingat oleh kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala
kondisi umat Islam tengah tercerai-berai bak buih di lautan, maka
mendahulukan konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh lebih utama
ketimbang sikap-sikap konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!
Saudi: Pemimpin Dunia Islam atau Antek Amerika?
share by Qif
share by Qif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar