Saat mendampingi kunjungan resmi Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin atas undangan Menteri Urus an Islam Arab Saudi al-Syeikh
Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh ke Arab Saudi pada 15-20 Maret
2015, ada wajah humanis yang menguat di benak penulis tentang Arab
Saudi, terutama saat mengunjungi Sultan bin Abdul Aziz Humanitarian City
(SBAHC) di Riyadh. Negeri monarki kaya minyak ini punya atensi dan
kontribusi besar terhadap kemanusiaan yang belum banyak diekspose.
Hal
serupa diakui Menag Lukman Hakim di sela-sela kunjungannya ke berbagai
fasilitas SBAHC yang dibangun 30 Oktober 2002 di atas lahan seluas satu
juta meter persegi dengan 400 tempat tidur ini bahwa Saudi punya sisi
lain yang luar biasa bagi kemanusiaan.
SBAHC dengan visi "Menjadi pusat keunggulan bertaraf internasional dalam rehabilitasi dan pelayanan kesehatan"
dan
dengan misi terkenalnya "Helping people to help themselves", cukup
menjadi salah satu ikon wajah lain Saudi kontemporer. Semua dibangun
dengan uang pribadi almarhum Pangeran Sulthan bin Abdul Aziz yang juga
dijuluki Sulthan al-Khair, Sultan Kebaikan.
SBAHC tidak saja
memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk berkebutuhan khusus,
tetapi juga memberikan perumahan gratis kepada penduduk tak mampu,
mengembangkan pendidikan dan berbagai program pemberdayaan lain yang
tidak saja di Saudi, tetapi juga di luar negeri, termasuk Indonesia.
Salah satu contoh dari kerja filantropis Sulthan adalah pembiayaan
perlombaan menghafal Alquran dan Hadis Nabi di Indonesia sejak 2006
hingga kini yang menelan biaya miliaran rupiah.
Tahun ini
perlombaan ke-7 pada 22- 26 Maret 2015 yang juga dihadiri Pangeran
Khalid bin Sulthan dan Menteri Urusan Islam al-Syeikh Shaleh bin Abdul
Aziz Ali al-Syeikh yang secara riil dapat mendorong muda-mudi Muslim
Indonesia berlomba menghafal Alquran dan Hadis Nabi. Tentu banyak lagi
data yang menyinggung kontribusi Saudi terhadap kemanusiaan
internasional.
Dalam sebuah riset "Saudi Arabia as a Humanitarian
Donor: High Potential, Little Institutionalization" yang ditulis Khalid
al-Yahya dan Nathalie Fustier, negara kerajaan ini merupakan negara
donor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia dan anggota OECD Development
Assistance Committee.
Demikian juga dengan gempa di Haiti 2010,
Saudi menyumbang 50 juta dolar bagi dana penanggulangan darurat. Pada
2008, Saudi menyediakan dana segar senilai 500 juta dolar untuk Program
Pangan Dunia dan dicatat sebagai kontribusi terbesar sejarah organisasi
ini.
Menurut situs Humanitarian News and Analysis (IRIN), Saudi
menyumbang 70 persen dari donasi yang diperlukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menangani pengungsi konflik Irak sebesar 500 juta
dolar dan menjadikan Saudi sebagai donator terbesar keempat setelah AS,
Uni Eropa, dan Inggris (www.irin- news.org, 17/09/2014). Bahkan, studi
oleh Bank Dunia, Saudi merupakan salah satu negara paling dermawan di
dunia kepada negara-negara berkembang, khususnya pada program Official
Development Assistance (ODA) sepanjang 1973-2010 dengan mendanai 472
proyek di 77 negara (43 Afrika, 27 Asia, dan 7 negara lain).
Pada
2013, Saudi mendonasikan 109 juta dolar untuk program kedaruratan
kemanusiaan PBB dan banyak lagi bantuan kemanusiaan di bawah payung
Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan Saudi, seperti 50 juta
dolar untuk kemanusiaan di Irak (2014) dan menjanjikan bantuan 500 juta
dolar bagi kemanusiaan Irak melalui PBB.
Hal serupa juga pada
2014, Saudi mendonasikan SR 1,8 miliar untuk proyek-proyek PBB di Irak,
SR 750 juta kepada pengungsi Suriah, dan SR 1,8 miliar bagi proyek
rekonstruksi Gaza (Arabnews). Kedermawanan Saudi jauh mengungguli Barat,
apalagi bila disertakan sumbangsih partikelir dan volunteer rakyatnya
yang tidak bisa didata.
Ada dua faktor utama ekspose aspek
humanisme Saudi ini terjadi. Pertama, kecenderungan sebagian media yang
terjebak dalam kampanye terorisme Barat, seolah radikalisme,
fundamentalisme, dan terorisme itu dari Wahabisme dengan tujuan politis,
ekonomis, bahkan ideologis. Ang gapan ini tentu keliru, bahkan Saudi
menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling keras perlawanannya
terhadap radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.
Kedua,
ikhlas tanpa publikasi. Keinginan sengaja pihak Saudi untuk tidak
memublikasikan bantuan karena ajaran agama yang tak menganjurkan
publikasi kebajikan yang telah diberikan.
Salah satu contoh
keengganan Saudi memublikasikan bantuan adalah penuturan seorang sumber
di Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta kepada penulis baru-baru ini.
Saudi memberikan bantuan pengobatan terhadap almarhum KH Sahal Mahfudz,
tokoh Nahdlatul Ulama (NU) --yang se bagian tokohnya kerap menghujat
Wahabisme sebagai ideologi berbahaya dan transnasional.
Ketika
almarhum sakit, Saudi menawarkan tiga hal kepada beliau, yaitu berobat
ke Saudi, berobat ke rumah sakit mana saja di dunia, atau berobat di
rumah sakit Indonesia yang semua pembiayaannya ditanggung pihak
kerajaan. Dengan berbagai pertimbangan, almarhum memilih opsi ketiga di
mana seluruh pengobatan selama sakit ditanggung Kerajaan Saudi. Cerita
ini belum pernah diungkap kecuali setelah beliau wafat dan itu pun
kepada kalangan terbatas. Bisa jadi almarhum bukan satu-satunya orang di
Indonesia yang mendapatkan kebajikan `tanpa pamrih' Saudi.
Namun,
data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan
persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi
terhadap negeri bak `sinterklas' ini. Saudi masih didesain dan
diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan
mengancam NKRI.
Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan
erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga
sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru
sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh
ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup
pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman
menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak
kedamaian ibu pertiwi.
Saatnya Saudi menjadikan aspek humanisme
dan filantropisnya sebagai strategi soft-power demi keberlangsungan
pembangunan, keadilan, dan kedamaian. Realita humanisme Saudi berlanjut
walau tanpa peliputan masif media, mengungguli humanisme Barat yang
cenderung lebai dan penuh agenda. Fakta dan data berbicara lebih kuat
dan humanisme Saudi bukan basa-basi.
AHMAD D BASHORI
Konsul Haji di Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah Arab Saudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar